Gaspolchanel.com – Dalam upaya meningkatkan kapasitas dakwah yang santun dan sesuai budaya lokal, Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Kelurahan Pakintelan, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang bekerjasama dengan Unnes, menggelar pelatihan bertajuk “Pelatihan Panatacara dan Penggunaan Bahasa Jawa Ragam Krama”.
Pelatihan yang diselenggarakan sejak bulan Juli hingga Desember 2024, dilakukan secara rutin setiap rabu malam bertempat di Sanggar Seni Brotosejati
Puluhan peserta dari berbagai unsur pengurus NU, mulai dari ranting NU hingga badan otonom seperti Muslimat NU, Ansor, dan Fatayat NU mengikuti pelatihan tersebut dengan antusias.
Selain Warga NU hadir pula perangkat desa Pakintelan dan masyarakat sekitar yang ikut bergabung dalam pelatihan panatacara.
Ketua NU Ranting Pakintelan, H. R. Marsudi mengatakan, pelatihan tersebut bertujuan untuk menguatkan kemampuan berdakwah para pengurus NU dengan memanfaatkan bahasa dan budaya Jawa.
Menurutnya, penggunaan bahasa Jawa krama memiliki nilai strategis dalam menyampaikan pesan dakwah kepada masyarakat, khususnya di wilayah Semarang yang masih kuat memegang tradisi Jawa.
“Bahasa Jawa krama adalah bahasa yang penuh kesantunan. Dalam berdakwah, hal ini sangat penting untuk menjalin kedekatan dengan masyarakat sekaligus menjaga kehormatan tradisi lokal," katanya
"Panatacara juga memberikan keterampilan tambahan dalam memimpin acara resmi secara budaya Jawa,” sambungnya lagi.
Penguatan Kompetensi Dakwah
Pelatihan ini menghadirkan narasumber utama dari Sastra Jawa Unnes.
Narasumber pertama, Widodo, seorang Dosen Sastra Jawa sekaligus praktisi panatacara, memaparkan dasar-dasar tata cara panatacara, termasuk pemilihan kosa kata, intonasi, dan gestur yang sesuai dengan adat Jawa.
Dijelaskan oleh Widido, bahwa seorang panatacara tidak hanya dituntut fasih berbahasa Jawa, tetapi juga mampu membangun suasana yang harmonis dalam setiap acara.
Sementara itu, Didik Supriadi, narasumber yang juga Dosen Bahasa Jawa Universitas Negeri Semarang, membahas tentang ragam bahasa Jawa, khususnya krama inggil.
Ia memberikan contoh-contoh kalimat dakwah yang dapat disesuaikan dengan konteks dan audiens.
“Bahasa krama tidak hanya soal formalitas, tetapi juga soal penghormatan. Dalam dakwah, ini sangat relevan untuk menciptakan suasana yang teduh dan menyejukkan,” tutur Didik.
Tidak hanya mendapatkan materi saja, para siswa langsung mengikuti praktik yang diajarkan oleh narasumber.
Dalam sesi ini, peserta diminta mempraktikkan teknik berbicara menggunakan bahasa Jawa krama dalam berbagai konteks, seperti sambutan resmi, pengantar doa, hingga menyampaikan nasihat agama.
Beberapa peserta juga mendapat kesempatan mempraktikkan peran sebagai panatacara dalam simulasi acara pernikahan adat Jawa.
Menjaga Tradisi di Era Modern
Pengelola Sanggar Seni, Widodo Brotosejati menambahkan, bahwa pelatihan ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi peserta, tidak hanya dalam Bahasa Jawa tetapi juga dalam melestarikan tradisi di tengah tantangan modernisasi.
“Di era sekarang, kita sering kali melupakan nilai-nilai lokal. Hal itu menjadi komitmen untuk merawat budaya lokal sekaligus menjadikannya sebagai sarana yang efektif,” jelasnya.
Jamal, salah seorang tokoh masyarakat mendukung dan mengapresiasi inisiatif NU atas pelatihan tersebut, yang dinilai selaras dengan upaya menjaga kearifan lokal.
“Generasi muda sekarang banyak yang kurang memahami bahasa Jawa krama. Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan NU dapat menjadi pelopor kebangkitan bahasa dan budaya Jawa,” bebernya.
Di akhir pelatihan, para peserta menyampaikan harapan agar program serupa dapat terus dilaksanakan, tidak hanya di tingkat kelurahan tetapi juga diperluas ke wilayah lain di Kecamatan Gunungpati.
Mereka juga mengusulkan agar pelatihan mencakup aspek lain sekaligus memanfaatkan teknologi dalam melestarikan bahasa Jawa(Widodo).***
masuk ini
BalasHapus